Marapu
adalah sebuah agama etnis/lokal atau pun kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan yang
memuja nenek moyang dan leluhur. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk
agama ini.
Pemeluk
agama ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa
setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu,
yang dikenal sebagai Prai Marapu.
Upacara
keagamaan marapu ( seperti upacara kematian dsb) selalu diikuti dengan
pemotongan hewan seperti kerbau dan kuda swebagai korban sembelihan, dan hal
itu sudah menjadi tradisi turun - temurun yang terus di jaga di Sumba.
AGAMA MARAPU
Agama
Marapu adalah "agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh
orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adapun yang dimaksud dengan
agama Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan
arwah-arwah leluhur (ancestor worship). Dalam bahasa Sumba arwah-arwah
leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang
dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Marapu
ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu
ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu
(keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah marapu
yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu
lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi.
Kehadiran para marapu di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan
lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa
patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu
disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma
bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai
banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon
pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap
adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata
kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau
(Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha
Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun
hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja.
Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam
urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk
menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri
dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan
Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya
sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan
dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya.
Selain memuja arwah leluhur, bentuk agama yang disebut Marapu ini
percaya juga akan bermacam roh yang ada di alam sekitar tempat tinggal manusia
sehingga perlu pula dipuja, percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di
sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya
kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa. Untuk mengadakan
hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba
melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta)
dan didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu.
Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan
berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila
diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat
buruk pada kehidupan manusia. Dalam kepercayaan agama Marapu, roh
ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus
kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan
menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan
sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara
yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua
macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa
(roh suci, dewa). Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi
inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat
berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam
pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu
yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan
kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa ini ada dalam semua
makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi
penghuni parai marapu pula. Hampir seluruh segi-segi kehidupan
masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu
sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan
hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya
untuk menjadi penganut agama lain. Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal
bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam
ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini
disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diucapkan atau
diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan diiringi nyanyian adat.
Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada
warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak.
Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan, terutama
upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga memberi kesan
pemborosan. Namun bagi orang Sumba, hal tersebut mereka lakukan untuk
mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti
pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan di antara
mereka. Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya
ditampilkan pula. Dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi
religi mereka. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat,
karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan
alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap
keramat pula. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan
para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya.
Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala
doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu
diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu
terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat)
atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan
upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu,
misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan
sebagainya. Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di
dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katode, tempat
upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang
dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada
sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam
sesaji, seperti pahapa (sirih pinang), kawadaku (keratan mas) dan
uhu mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu-Rambu
(dewa-dewi) yang berada di tempat itu. Di dalam suatu paraingu biasanya
terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha
leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang
tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan tersebut bernama Uma
Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku (bahasa
puitis, berbait)disebut sebagai Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu
(rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan
orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir
rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan
rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah
tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah
permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah
daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu
(rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus
menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula. Uma
Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan
menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta
terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu
Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan
itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan
untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas
buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa),
tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan
tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka
dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataungu
ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali,
yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda
lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap
delapan tahun sekali. Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian
dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan
dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban
hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus
pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada
di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau
kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat
dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan
arwah-arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai
kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya.
Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum
keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku — hara sehingga
keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk
memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap
alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka
manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat upacara dirasakan
sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib.
Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan
irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu
didasarkan pada kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu
kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting
atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian.
Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan.
Pendahuluan
Makna
istilah “agama” sering menimbulkan banyak kontroversi yang lebih besar daripada
arti penting permasalahannya. Pada umumnya di Indonesia, istilah agama
digunakan untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi oleh negara,
seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Sedangkan semua sistem
keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi” (Koentjaraningrat,
1974:137-142). Untuk menyatukan persepsi dan tidak menimbulkan perdebatan
berkepanjangan, serta pertimbangan bahwa suatu sistem keyakinan atau religi
merupakan suatu agama hanya bagi penganutnya, dan juga melihat situasi dari
yang menghayatinya, meyakininya dan mendapat pengaruh darinya, maka dalam
pembahasan ini akan digunakan istilah “agama” saja untuk menyebut suatu sistem
keyakinan yang dianut oleh masyarakat penganutnya. Pernyataan tersebut penulis
tekankan karena bertujuan hendak mendekati agama sebagai bagian dari kehidupan
sosio-kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi terlepas dari
kekeramatan dan kesucian yang terkait padanya secara dogmatis. Hendak melihat
suatu kenyataan dari sudut pandang pelaku. Secara umum, Parsudi Suparlan (dalam
Robertson,1988:v-xvi) mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan
Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan
sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang
diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan
memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib
dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai
kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk
untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat
menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Sebagai inti dari
sistem nilai yang ada dalam kebudayaan, sistem keyakinan ini seolah-olah berada
di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang
bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai
tersebut yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak
lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai tersebut
sukar diganti dengan nilai-nilai lain (Koentjaraningrat,1974:13,32-33).
Gambaran Umum Umalulu
Makam
raja Melolo di desa Tambaka pada masa Hindia Belanda
Umalulu merupakan suatu wilayah yang
lengkapnya disebut Tana Umalulu (Tanah Umalulu). Pada masa penjajahan Belanda,
Tanah Umalulu dikenal sebagai Tanah Melolo, Landschaap Melolo atau Kerajaan
Melolo. Kemudian pada masa kemerdekaan disebut Daerah Swapraja Melolo, dan kini
wilayah Umalulu menjadi kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur, propinsi Nusa
Tenggara Timur. Secara keseluruhan keadaan geografis wilayah Umalulu terdiri
dari daerah berbukit-bukit dan sabana (padang rumput), dengan keadaan tanah
yang kurang subur untuk pertanian dan perkebunan. Hutan belantara tropis bisa
dikatakan hampir tidak ada, kecuali hutan heterogen yang sebagian besar berada
di daerah pedalaman. Iklim di Umalulu ditandai oleh musim kemarau yang panjang
(Maret-Nopember) dan angka curah hujan yang relatif kecil (kurang dari
1500mm/tahun), dengan rata-rata hari hujan antara 35~55 hari per tahun, serta
suhu udara antara 26’~34’C. Dari data tersebut tampaklah bahwa daerah itu
merupakan daerah yang panas dan kering. Suatu hal yang menguntungkan ialah
adanya sungai Umalulu yang mengalir di wilayah itu dan selalu berair walaupun
pada musim kemarau. Di sekitar tepi sungai itulah penduduk Umalulu mendirikan
tempat pemukiman mereka dan membuka ladang. Sebagian besar penduduk Umalulu
hidup dari bercocok tanam di ladang (jagung, padi, umbi-umbian,
kacang-kacangan) dan beternak (babi, kuda, kerbau, ayam). Pertanian berupa
sawah tadah hujan dan belum diusahakan secara intensif. Sumber penghasilan lain
adalah membuat kain tenun yang lebih terkenal dengan sebutan “kain Sumba”.
Selain itu ada pula dari pembuatan barang-barang kerajinan tangan, misalnya
anyaman daun lontar dan pembuatan perhiasan mas-perak. Dalam berkomunikasi di
antara mereka, para warga masyarakat Umalulu menggunakan bahasa ibu mereka
yaitu bahasa Sumba, yang termasuk keluarga bahasa Bima-Sumba dan rumpun bahasa
Austronesia. Dalam perkembangannya sebagai bahasa daerah, bahasa Sumba
membentuk beberapa logat bahasa. Adapun logat bahasa yang dapat dipahami dan
dimengerti oleh sebagian besar penduduk di wilayah Umalulu ialah logat Umalulu
dan logat Kambera. Sejauh ini bahasa Sumba belum mengenal bentuk bahasa
tulisan. Prinsip keturunan masyarakat Umalulu berdasarkan prinsip patrilineal
(patrilinel descent), yaitu prinsip keturunan yang menghitung hubungan
kekerabatan melalui pihak laki-laki saja. Mereka mengenal empat macam kelompok
kekerabatan. Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga inti (nuclear
family) yang disebut biliku, yaitu terdiri dari sepasang suami istri dengan
anak-anaknya yang belum kawin. Kelompok kekerabatan lainnya ialah rumah tangga
(household) dan disebut ukuruma, yang merupakan kelompok kekerabatan yang
menjalankan ekonomi rumah tangga dan sebagai kesatuan yang melakukan
usaha-usaha produktif. Kemudian ada yang disebut uma, yaitu kelompok
kekerabatan yang terdiri dari satu keluarga inti senior ditambah dengan
keluarga-keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya.Mereka berdiam di dalam satu
rumah besar yang disebut uma juga. Berdiam dalam uma milik ayahnya adalah suatu
hal yang sesuai dengan adat menetap sesudah kawin yang virilokal. Kelompok
kekerabatan yang terbesar ialah kabihu (keluarga luas, clan), yaitu terdiri
dari beberapa uma yang merasa diri berasal dari seorang nenek moyang dan antara
satu dengan lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki saja. Kelompok
kekerabatan ini serupa seperti yang oleh Koentjaraningrat disebut patrilineal
minimal lineage (1977:119-121). Kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu
berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut paraingu, yaitu suatu
perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya.
Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang
disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan
kuataku disamakan dengan kampung. Secara tradisi yang menguasai tanah dalam
suatu paraingu ialah kabihu-kabihu yang diakui sebagai mangu tanangu (penguasa
tanah) di wilayah itu, yaitu terdiri dari kabihu ratu (klen pendeta) dan kabihu
maramba (klen bangsawan). Kedua kabihu tersebut merupakan kesatuan sebagai
pemegang kekuasaan yang meliputi semua bidang kehidupan dalam masyarakat.
Sedangkan kuataku dikepalai oleh seorang mangu kuatakungu (penguasa kampung,
kepala kampung). Selain itu pada masyarakat Umalulu dikenal pula adanya sistem
pelapisan sosial yang didasarkan pada dedi (keturunan), yaitu ratu (pendeta),
maramba (raja, bangsawan), kabihu (orang bebas) dan ata (hamba). Kedudukan dan
peranan suatu kabihu dalam masyarakat Umalulu sangat besar pengaruhnya pada
pola kekuasaan dalam masyarakat tersebut. Jabatan penting dalam pemerintahan
adat selalu dipegang oleh orang-orang dari kabihu tertentu secara turun
temurun. Setiap kabihu dalam suatu paraingu mempunyai hak dan kewajiban
masing-masing tergantung pada tradisi serta sejarah leluhurnya. Walaupun kini
wilayah Umalulu tidak lagi merupakan suatu wilayah yang berada di bawah satu
pemerintahan adat, tapi bila ada hal-hal yang bersangkutan dengan adat maka
sistem pemerintahan secara adat masih tetap dijalankan. Pemerintahan adat itu
kini berpusat di Umabara yang terletak di desa Watu Hadangu.
Sistem
Religi dan Ilmu Gaib Pada masa sekarang bisa dikatakan
hampir seluruh penduduk Umalulu masih menganut agama “Sumba asli”, karena hanya
1,1% saja (pada tahun 1982) dari seluruh penduduknya yang beragama Kristen
Protestan. Apa yang disebut agama “Sumba asli” itu ialah suatu religi yang
berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba Timur
arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”.
Oleh karena itu, agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Seperti halnya
dengan religi-religi lain dari berbagai suku-bangsa di dunia, maka religi di
Umalulu juga mempunyai empat unsur pokok, yaitu : 1. Emosi keagamaan atau
getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan. 2. Sistem
kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam
gaib, hidup,maut dan sebagainya. 3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan
mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut
di atas. 4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang
mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara
keagamaannya (Koentjaraningrat, 1977: 228).
Emosi Keagamaan
Emosi
keagamaan ialah suatu getaran jiwa yang pernah menghinggapi manusia pada masa
hidupnya yang mendorongnya berlaku serba religi. Menurut Koentjaraningrat
(1977:228-229) unsur-unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan dan
aktivitas keagamaan adalah : 1. Kesadaran tentang adanya makhluk-makhluk
halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. 2. Takut akan
krisis dalam hidup. 3. Yakin akan adanya banyak gejala yang tidak dapat
diterangkan dan dikuasai oleh akal. 4. Percaya akan adanya suatu kekuatan sakti
dalam alam. 5. Terikat oleh emosi kesatuan dalam masyarakat. 6. Percaya tentang
adanya kekuasaan tertinggi. Di Umalulu keenam unsur tersebut ternyata memegang
peranan penting untuk mempertinggi emosi keagamaan dan aktivitas keagamaan para
warganya. Unsur pertama berupa kesadaran tentang adanya makhluk-makhluk halus
yang berasal dari jiwa para kerabatnya yang belum dibebaskan dari ikatan dunia
dengan upacara Pataningu. Arwah-arwah yang belum diupacarakan itu dapat membawa
bahaya bagi keluarganya dan juga masyarakat umum karena merasa tidak
dihiraukan. Selain itu ada pula makhluk-makhluk halus yang tidak diketahui
asal-usulnya dan bersifat jahat. Makhluk-makhluk halus itu oleh penduduk di
sebut patau tana dan selalu harus diberi sesaji agar tidak mengganggu mereka.
Unsur kedua berupa ketakutan yang timbul akibat ketidakberdayaan ketika
menghadapi krisis dalam kehidupan, antara lain ketika timbul wabah penyakit
antrax yang melanda seluruh ternak hingga banyak yang mati karenanya. Unsur
ketiga berupa keyakinan tentang adanya banyak gejala yang tidak depat
diterangkan dan dikuasal oleh akal mereka. Misalnya ketika terjadi gempa bumi
pada tahun 1982 , atau pada tahun 1912 ketika terjadi kebakaran besar di
Paraingu Umalulu yang diakibatkan oleh sambaran kilat sehingga hampir seluruh
rumah terbakar. Unsur keempat ialah kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan
sakti dalam alam yang dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi depat digunakan
bila dikendalikan dengan ilmu gaib. Caranya dengan mempelajari mantra-mantra
tertentu, para tau mapingu puhi atau na mapingu muru (dukun) dapat diminta
bantuannya untuk rnendatangkan hujan atau menyembuhkan penyakit. Unsur kelima
ialah keterikatan masyarakat Umalulu oleh emosi kesatuan dalam masyarakatnya
yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup mereka yang berdiam
terpencar-pencar, sehingga upacara-upacara dan pesta-pesta adat yang mereka
laksanakan sebenarnya disebabkan oleh adanya dorongan dan emosi kesatuan
(solidaritas). Unsur keenam ialah kepercayaan tentang adanya kekuasaan tertinggi
yang oleh masyarakat Umalulu disebut Na Mawulu Tau - Na Majii Tau (Pencipta
Manusia).
Sistem Kepercayaan
Sistem
kepercayaan dalam suatu religi mengandung bayangan manusia tentang wujud dunia
gaib, dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, kekuatan sakti, kepercayaan mengenai
hidup dan mati serta kesusastraan suci. Orang Umalulu menyadari bahwa ada suatu
dunia yang tidak tampak yang berada di luar batas kemampuan pancaindra dan
akalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para dewa,
makhluk-makhluk halus dan kekuatan-kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai
oleh manusia secara biasa, karena itu sangat ditakuti. Agar segenap penghuni
dunia gaib itu menjadi senang atau menaruh belas kasihan sehingga tidak membawa
bencana kepada mereka dan bahkan melindungi serta membantu kehidupan mereka,
maka dalam menghadapi penghuni dunia gaib orang Umalulu menyandarkan diri serta
menyembahnya. Orang Umalulu mempunyai banyak dewa dan ada susunannya secara
hirarki, tetapi tidak merupakan suatu parrtheon tersendiri, karena setiap dewa
mempunyai tempat persemayaman sendiri di rumah suatu kabihu yang memujanya.
Para dewa itu biasanya tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali
bila sedang ada upacara tertentu. Dewa-dewa di Umalulu disebut Marapu, yaitu
para arwah leluhur yang dimuliakan dan didewakan serta dipercaya sebagai lindi
papakalangu - ketu papajualangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang
menjulurkan, perantara) antara manusia dengan Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang
Membuat Manusia dan Yang Membentuk Manusia, Pencipta Manusia). Para marapu
inilah yang telah menerima nuku - hara (hukum dan cara) atau tata tertib hidup
bermasyarakat dari Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia. Para marapu
dibayangkan sebagai makhluk-makhluk mulia yang mempunyai pikiran, perasaan dan
kepribadian seperti manusia, tapi dengan kepandaian dan sifat-sifat yang lebih
unggul. Mereka terdiri juga dari jenis pria dan wanita serta berpasangan
sebagal suami istri. Di antara keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap
sebagai nenek moyang yang menjadi cikal-bakal dari kabihu-kabihu. Marapu-marapu
ini dibedakan antara Marapu Ratu dengan Marapu. Marapu ratu ialah marapu yang
turun dari langit dan merupakan leluhur dari marapu lainnya. Sedangkan Marapu
ialah arwah leluhur yang menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu tertentu.
Marapu-marapu di Umalulu dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan
beberapa kriteria. Misalnya, marapu-marapu itu dapat dibagi menjadi dua
golongan berdasarkan hubungan dengan Marapu Ratu Umbu Endalu yang biasa disebut
sebagai Uma Ndapataungu, yaitu dalam hubungan kekerabatan dan dalam hubungan
pemerintahan. Marapu-marapu yang termasuk kerabat Umbu Endalu ialah Rambu Pudu
Kawau yang merupakan permaisurinya dan berputra dua orang, yaitu Umbu Kaluu
Rihi dan Umbu Tunggu Watu. Istri Umbu Endalu yang kedua bernama Rambu Kahi
Liaba yang biasa disebut Rambu Henda Mandari dan mempunyai seorang putri serta
dua orang putra, yaitu Rambu Konga Wandalu, Umbu Mula dan Umbu Lu.
Marapu-marapu yang tergolong dalam pemerintahan Umbu Endalu antara lain :
Umbu Kaluu Rihi, bertugas sebagai Ratu (imam, pendeta) yang mengurus hal
keagamaan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai ratu, Umbu Kaluu Rihi dibantu
oleh beberapa ratu lainnya, yaitu Umbu Pandi Makahihiru yang bertugas sebagai
paaungu (pemanggil) para ratu lainnya dalam segala urusan golongan ratu; Kunda
- Mbala yang bertugas sebagai pesuruh di kalangan ratu; Umbu Hamata dan Umbu
Harahapu yang bertugas sebagai pembawa barang-barang pusaka; Umbu Manggedingu
dan Umbu Malara Nau yang bertugas sebagai utusan untuk menghadap Na Mawulu
Tau-Na Majii Tau, sebagai wunangu (duta, perantara) dan sebagai pemelihara
kebersihan tempat pemujaan. Adapun putra kedua dari Umbu Endalu, yaitu Umbu
Tunggu Watu kemudian ditetapkan sebagai Maramba (raja) yang bertugas
menjalankan pemerintahan dan rnemimpin dalam segala bidang kehidupan termasuk
urusan keagamaan sebagai pengawas, pelindung, pendorong, dan mengadakan
bahan-bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan upacara pemujaan. Umbu Endalu
kemudian oleh keturunannya dipuja sebagai Ina Ratu - Ama Konda , Na Pamalilingu
Langu-Na Papalilinqu Hida (ibu bapak para ratu dan raja, yang dipantangkan kata
dan yang tak terkalang aturan) dan dianggap sebagai dewa kesuburan serta
kemakmuran. Dalam menjalankan tugasnya, Umbu Tunggu Watu dibantu oleh Umbu Dimu
dan Umbu Rawa yang bertugas sebagai penolak mara bahaya yang datang dari arah
udik dan bahaya penyakit ; Umbu Rumbu dan Umbu Kapala Rikatu sebagal
panglima perang; Umbu Tundu Mbiru dan Umbu Kahi Laku sebagai pengawal;
Titi-Nini sebagai penasihat; Umbu Diawa Lodu dan Umbu Diawa Mada sebagai
penjaga matahari dan ahli bela diri; Umbu Panda dan Umbu Baka sebagai pemberi
ampun dan berkat; Umbu Ropa dan Umbu Nyali sebagai pemegang kilat; Umbu Owa dan
Umbu Kalaki sebagai ahil berburu; Umbu Watu Kambaru dan Umbu Rengga Mbulu
sebagai penjaga laut; Umbu Meha Wulu dan Umbu Mandarimu sebagai ahli
pertukangan; Umbu Lawahu dan Umbu Kambaru Hihu sebagai pengatur dalam hal
perkawinan dan menentukan waktu pertukaran tahun; Umbu Katindi dan Umbu Luwa
Ratu sebagal ahli pertanian. Selanjutnya marapu-marapu di Umalulu dapat dibagi
pula menjadi dua golongan berdasarkan jumlah pemujanya, yaitu dalam satu
paraingu dan dalam suatu kabihu. Marapu golongan pertama ialah mereka yang
termasuk kerabat Marapu Ratu Umbu Endalu, walaupun mereka itu tidak bersemayam
dalam satu tempat pemujaan karena masing-masing marapu mempunyal tempat
persemayaman sendiri. Marapu-marapu golongan kedua ialah mereka yang merupakan
leluhur tiap-tiap kabihu dan bersemayam di uma bokulu dari masing-masing kabihu
yang memujanya. Setiap marapu di Umalulu mempunyal lambang suci yang disimpan
di pangiangu marapu (kediaman marapu) masing-masing, yaitu di dalam menara uma
bokulu setiap kabihu. Khusus untuk Umbu Endalu dibuat tempat persemayaman
tersendiri yang tidak boleh dihuni manusia, yaitu yang disebut Uma
Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu. Lambang-lambang suci ini disebut tanggu
marapu (bagian marapu) dan mempunyai macam-macam bentuk serta ukuran. Pada umumnya
lambang-lambang suci itu berupa perhiasan-perhiasan mas atau perak, tetapi ada
pula yang berupa patung dan guci. Sebagai lambang kebesaran dan kehadiran Umbu
Endalu ialah sebuah perhiasan mas dengan panjang 8 cm dan bergaris tengah 12 mm
. Selain itu terdapat pula dua buah guci yang disebut mbalu rara-kihi muru
(guci merah dan hijau). Guci merah melambangkan bumi, sedangkan guci hijau
melambangkan langit. Ketika dilakukan upacara wunda lii hunggu-lii maraku
(upacara persembahan kepada Umbu Endalu yang diselenggarakan delapan tahun
sekali), guci hijau digunakan untuk menimba air di sungai yang kemudian air itu
ditumpahkan ke dalam guci merah yang selalu tetap berada di tempatnya. Air yang
ditumpahkan dari guci hijau ke guci merah adalah lambang hujan. Apabila air
yang ditumpahkan itu berlebihan, maka hal itu pertanda akan dilimpahi banyak
hujan. Sebaliknya apabila ternyata air yang ditumpahkan itu tidak memenuhi guci
merah, maka pertanda akan kekurangan hujan. Kini kedua guci tersebut sudah
tidak ada lagi. Walaupun orang Umalulu mempunyal banyak dewa, yaitu para marapu
yang sering disebut namanya, di puja dan dimohoni pertolongan, akan tetapi hal
itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Sang Maha
Pencipta. Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta senantiasa dinyatakan dengan
kata-kata atau kalimat-kalimat kiasan. Itupun hanya dalam upacara-upacara
tertentu atau peristiwa-peristiwa penting lainnya yang menyangkut kehidupan
orang banyak. Dalam kepercayaan Marapu , Sang Maha Pencipta tidak campur tangan
dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya, sehingga
untuk menyebut namaNya pun dipantangkan. Adapun kata-kata atau kalimat-kalimat
kiasan yang ditujukan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa itu antara lain :
Na Mapadikangu Tau (Pencipta Manusia), Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang
Membentuk dan Membuat Manusia) ,Na Mawulu Tanga Mata Kalindi Uru-Na Mahangatu
RI Wihi RI Lima (Yang Membentuk Alis Mata dan Batang Hidung. Yang Menyayat
Tulang Kaki dan Tulang Tangan), Na Ndiawa Tumbu-Na Ndiawa Dedi (Dewa Yang
Menumbuhkan dan Dewa Yang Menjadikan), Ina Nuku-Ama Hera (Ibu Hukum dan Bapak
Cara), Na Mapadikangu Awangu Tana (Pencipta Langit dan Bumi),La Hupu Ina-La
Hupu Ama (Ibu Segala Ibu dan Bapak Segala Bapak), Na Ina Mbulu-Ama Ndaba (Ibu
dan Bapak Seisi Alam), Na Ina Pakawurungu-Na Ama Pakawurungu (Ibu dan Bapak
dari Seluruh Yang Ada), Na Pandanyura Ngara-Na Pandapiaka Tamu (Yang Tidak
Disebut Gelarnya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya), Mayapa Watu Wulu-Matema
Loja Lala (Pemegang Batu Ciptaan dan Penadah Kuali Leburan), Ndiawa Mbulungu
-Pahomba Mbulungu (Jiwa dan Roh Yang Esa),Ina Bai-Ama Bokulu (Ibu Agung dan
Bapak Besar), Ina Makaluni-Ama Makaluni (Ibu dan Bapak Yang Kudus), Na Mabokulu
Wua Matana- Na Mambalaru Kahiluna (Yang Besar Biji Matanya-Yang Lebar
Telinganya, Yang dapat melihat dan mendengar seluruhnya), Na Mailu Paniningu-Na
Mangadu Katandakungu (Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas,
Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia),
Mapatandangu Manjipu-Na Mapatandangu Mandoku Mandanga (Yang Memperha tikan yang
Salah dan Menimbang yang Keliru), Na Matimba Nda Haleli-Na Mandahi Nda
Panjilungu (Hakim Yang Maha Adil), Na Kandapu Nda Ngihirungu-Na Karangga Nda
Lelingu (Bukit Yang Tak Beranjak dan Ranting Yang Tak Bergerak,Yang Abadi).
Selain kepada para Marapu, orang Umalulu juga percaya bahwa di dunia gaib penuh
dengan makhluk-makhluk halus, seperti patau tana, mamarungu, maranongu, katiku
kamawa dan bumbu. Patau tana adalah roh-roh halus yang dapat berasal dari
manusia,dan bukan berasal dari manusia. Biasanya mereka menjadi penghuni
pohon-pohon besar, batu-batu besar, gua-gua, hutan atau di kuburan. Patau tana
ini bersifat jahat dan selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti.
Patau tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang-orang yang mati
secara tidak wajar, misalnya disebabkan kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan
sebagainya. Roh-roh semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak
dapat terlepas dari hidupnya yang lama. Mamarungu adalah roh halus yang bukan
berasal dari manusia dan mempunyai sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih
rendah dari marapu karena mereka merupakan pesuruh-pesuruh para marapu. Karena
sifatnya yang jahat, mereka sering mengganggu dan mencelakakan manusia dengan
memasuki tubuh manusia yang hidup. Orang yang kerasukan mamarungu ini akan
menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang lain. Oleh karena itu,
orang yang sering mencelakakan orang lain disebut mamarungu juga. Pada masa
lampau orang semacam ini dibunuh karena dianggap membahayakan orang lain. Roh
halus yang sederajat dengan mamarungu ialah maranongu.Akan tetapi, maranongu
mempunyal sifat baik dan suka menolong manusia. Katiku kamawa adalah makhluk
halus lainnya yang termasuk kategori patau tana, tetapi bukan berasal dari
manusia dan tidak diketahui asa-usulnya. Penampilan katiku kamawa ini berupa
kepala manusia tanpa rambut dan berkulit hitam legam. Kebiasaannya
berguling-guling di tanah sambil tertawa. Makhluk halus ini suka mengganggu
manusia dan bertempat tinggal di pohon-pohon besar atau di pohon mangga. Adapun
bumbu adalah makhluk halus yang berupa kambing jantan. Makhluk halus ini pun
suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung-gunung
atau di tempat-tempat sunyi. Orang Umalulu percaya bahwa di sekeliling mereka
ada kekuatan-kekuatan gaib dalam gejala-gejala dan hal-hal luar biasa yang
dapat berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan suara-suara yang luar
biasa. Gejala-gejala alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah angin
yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan
binatang ternak. Angin tersebut disebut ngilu katiu. Untuk mencegah penyakit
yang dibawa oleh angin itu, orang Umalulu menyelipkan ruu kamala pau (daun
mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka. Tokoh-tokoh manusia yang dianggap
mempunyal kekuatan gaib ialah para ratu, tau mapingu papuhi dan na mapingu muru
karena mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga alam
seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib,
yaitu dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu. Ilmu gaib (puhi) yang
dilakukan oleh para ratu atau oleh tau mapingu papuhi untuk mendatangkan hujan
ialah dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan di katuada
dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan
empat ekor anak ayam kepada para marapu terutama kepada Uma Ndapataungu.
Seorang tau mapingu papuhi ketika melakukan ilmu gaib yang bersifat agresif,
mempersembahkan pahapa, kawadaku dan beberapa ekor ayam (dua, empat atau
delapan ekor tergantung kebutuhan) kepada para marapu yang berada di uta
muru-kaba watu (hutan hijau dan tebing batu ), yaitu para marapu yang dipuja
oleh kabihu Menggitu atau pada Marapu Ratu Kabuarangu dan Marapu Kabala.
Kemudian melakukan upacara sembahyang dan mengucapkan mantra-mantra (tundu
wara) dengan maksud agar orang yang dituju menjadi sakit, mendapat kesialan
atau kematian. Ada pula ilmu gaib lain yang disebut kabeli mata (membalik
mata), yaitu ilmu gaib semacam sihir yang dapat mengubah manusia menjadi
binatang, pohon atau batu. Apabila ada seseorang yang ditimpa penyakit, maka ia
dapat meminta pertolongan kepada mapingu muru untuk mengobatinya. Mapingu muru
biasanya akan memberi muru (obat dari ramuan daun-daunan) atau tada ai (obat
dri ramuan akar-akar pohon atau kulit kayu) yang telah diberi mantra-mantra
tertentu kepada si sakit. Bagian tubuh manusia yang paling dianggap mempunyai
kekuatan gaib ialah kapai atau ngati (kemaluan wanita). Bila kapai ini sampai
terlihat oleh orang lain (terutama laki-laki), maka dianggap akan membawa sial
kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si wanita. Itulah
sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada malam hari atau di tempat gelap.
Alat kelamin wanita dianggap palili (tabu) karena merupakan tempat keluar
sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib, seperti roh anak yang lahir dan darah.
Darah, terutama yang keluar ketika haid dianggap mengandung kekuatan gaib yang
dapat membawa kesialan kepada orang lain. Oleh karena itu, wanita yang sedang
haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat-tempat suci lainnya, dilarang
menyiapkan sesajian untuk para marapu dan tidak boleh mandi di sungai. Wanita
yang sedang haid harus berdiam di kamar dan mandi di kamarnya pula dengan
menggunakan air panas yang diberi ramuan kayu dan daun kahi jawa (asam) yang
gunanya untuk menghangatkan badan dan melancarkan keluarnya darah. Bagian tubuh
manusia yang juga dianggap mengandung kekuatan gaib ialah air ludah. Air ludah
digunakan untuk obat, antara lain untuk menghilangkan rasa pegal-pegal yang
diakibatkan oleh sakit malaria, yaitu dengan cara melumuri badan dengan hadabai
(rumput yang tumbuh di batu-batu) yang dikunyah bersama sirih pinang dan
dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang baru lahir, agar luka pada pusarnya
cepat sembuh maka luka itu dilumuri air ludah yang telah bercampur dengan
kunyahan sirih pinang. Rambut adalah bagian tubuh manusia yang juga dianggap
mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, rambut seseorang yang dipotong ketika
ia baru lahir akan disimpan di dalam kahipatu dengan maksud agar selama
hidupnya terhindar dan mara bahaya. Kelak bila orang itu meninggal, maka rambut
dalam kahipatu itu akan dikuburkan pula bersamanya. Binatang yang dianggap
mempunyal kekuatan gaib antara Iain wangi (burung hantu), kuu (burung
alap-alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh
orang Umalulu karena dianggap dapat membawa kesialan. Binatang lain yang
dianggap mempunyai kekuatan gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam
kepercayaan mereka ialah wei (babi), karambua (kerbau), njara (kuda), manu
(ayam) dan ahu (anjing). Babi merupakan hewan korban yang utama dalam
upacara-upacara keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat
menyampaikan segala kehendak manusia kepada para marapu. Diterima atau tidaknya
suatu permohonan , dapat dilihat melalui hati babi. Kerbau merupakan binatang
yang biasa dikorbankan pada upacara-upacara keagamaan, terutama pada upacara
perkawinan, kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara simbolis daging
kerbau yang dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah. Menurut
kepercayaan, kerbau-kerbau korban itu merupakan bekal arwah orang yang
meninggal dalam perjalanannya ke parai marapu, dan setibanya di parai marapu
digunakan untuk menjamu arwah keluarganya yang telah lebih dahulu berada di
sana. Selain itu kerbau dianggap binatang yang dapat membawa keberuntungan pada
pemiliknya. Oleh karena itu, ada tempat pemujaan khusus yang disebut uma
karambua, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kekayaan. Binatang yang
melambangkan ketaatan paling utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya
ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di
akhirat sebagai tunggangan majikannya. Oleh karena itu, ketika majikannya
meninggal, kuda kesayangan harus dikorbankan untuk mengantar arwah majikannya
ke parai marapu. Seperti halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat permujaan
khusus yang disebut uma njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon
kejayaan dan kekayaan. Jenis binatang lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan
gaib ialah ayam jantan. Bulu-bulu ayam jantan dianggap mempunyai kekuatan untuk
menolak bahaya dan dapat memayungi arwah seseorang dalam perjalanannya menuju
parai marapu. Selain itu kokok ayam jantan dianggap dapat membangunkan arwah
orang yang meninggal agar bersiap untuk menempuh perjalanan ke alam baka.
Anjing adalah binatang peliharaan yang senantiasa mengikuti majikannya jika
sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan senasib
sepenanggungan yang tidak terbatas di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Pada
upacara kematian, anjing kesayangan dikorbankan agar arwahnya dapat mengikuti
arwah majikannya. Selain itu anjing dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat
melihat makhluk-makhluk halus. Tumbuh-tumbuhan yang dianggap mempunyal kekuatan
gaib antara lain kalala (kaktus), karangga langadi (akar bahar), pau (mangga)
dan menggitu (lontar). Kekuatan gaib yang ada dalam tanaman tersebut ialah
dapat menolak bahaya dan penyakit. Selain itu mereka pun percaya bahwa semua
daun-daunan yang mempunyal khasiat sebagai obat, misalnya kuta (sirih), kabaru
(waru), kahi jawa (asam), muru mangandingu (sejenis sulur-suluran), yawilu
(kayu manis), kunu buti (Lat: Hyptis suaveolens) dan rutu (Lat : Albizza
marginata meer), juga dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghilangkan
perryakit. Pohon yang dianggap keramat tetapi tidak mempunyai akibat buruk
ialah wangga (beringin), mayela, kunjuru (teniring, Lat: Cassia fistula) dan
kanawa (angsana). Benda.-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan
merupakan lambang suci para marapu ialah tanggu marapu. Benda-benda lain yang
juga dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah benda-benda pusaka, seperti
parang,kain-kain, perhiasan mas, perhiasan manik-manik (ana hida) dan hiwaru
(jimat) yang dikeluarkan atau dibawa hanya pada saat-saat tertentu saja oleh
pemiliknya. Suara-suara yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah
mantra-mantra atau tundu wara yang diucapkan para ratu, tau mapingu papuhi dan
mapingu muru. Selain itu suara-suara nyanyian dan irama pukulan gong yang
dibawakan pada suatu upacara dianggap mempunyai kekuatan gaib juga, karena
mampu menciptakan suasana yang diperlukan. Menurut kepercayaan orang Umalulu,
seseorang yang lahir ke dunia ini adalah atas kehendak Mawulu Tau-Majii Tau ,
demikian pula bila seseorang meninggal itu pun atas kehendakNya. Peristiwa
kematian adalah suatu peristiwa perpindahan atau peralihan dari alam nyata
(dunia) ke alam gaib (akhirat). Menurut pandangan mereka, kehidupan di alam
gaib mempunyai struktur yang sama dengan kehidupan di alam nyata. Akan tetapi
kehidupan di alam nyata tidak kekal, sedangkan kehidupan di alam gaib adalah
kekal. Tubuh manusia hanyalah sebagai teda (kulit) atau haruma (selaput) yang
dapat mati, sedangkan yang hidup kekal (njulu) ialah ndiawa (roh). Dalam
kepercayaan Marapu roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena
roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh orang yang mati
akan menjadi penghuni parai marapu dan dimuliakan sebagai marapu-marapu. Roh
seseorang yang mati bisa mencapai parai marapu apabila dalam hidupnya di dunia
memenuhi segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Seseorang
yang telah jatuh dalam dosa, maka Ia harus menyerahkan diri kepada seorang wai
maringu (air dingin) untuk menebus segala dosanya, dan kelak bila dia mati harus
dikebumikan dengan berbagal upacara. Apabila tidak demikian halnya, maka selama
itu rohnya akan hidup merana karena tidak diterima di parai marapu dan akan
bergabung dengan makhluk-makhluk halus lainnya yang selalu berusaha mengganggu
kehidupan manusia. Roh itu sendiri dalam diri manusia terdapat dua macam, yaitu
yang disebut hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa (roh). Hamangu ialah roh
manusia selama hldupnya yang menjadi inti kekuatan badannya. Berkat hamangu
itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu ini akan
bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit
dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia yang mati akan menjadi
makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa terdapat
dalam segala makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan yang kelak
menjadi penghuni parai marapu pula. Seperti juga bangsa-bangsa dan suku-bangsa
lainnya di dunia, orang Umalulu mempunyai kesusastraan suci atau mite (myth)
yang disebut lii ndai. Kesusastraan suci di Umalulu bersifat tak tertulis dan
hidup dalam ingatan para ahli dan pemuka-pemuka agama. Setiap ada pesta-pesta
adat dan upacara-upacara penting, misalnya pada upacara pamangu langu paraingu,
muti uhu, kanduku wuaka, pamangu ndiawa, pamau papa, paremi wulu uma,
pataningu, kesusastraan suci diceritakan kembali dengan diiringi
nyanyian-nyanyian. Fungsi kesusastraan suci ini untuk menerangkan asal-usul
penduduk Umalulu serta para marapu-marapunya. Kesusastraan suci dianggap bertuah
dan dianggap dapat mendatangkan kemakmuran pada penduduk dan kesuburan bagi
tanaman serta binatang ternaknya. Pada halaman selanjutnya akan disajikan
sebuah cerita prosa rakyat (kareuku) secara singkat tentang para marapu turun
dari langit. Adapun langit, tempat asal segala marapu, terdiri dari delapan
lapis yang disebut Awangu Walu Ndani dan berbentuk seperti hawita panggubulungu
(kukusan tertelungkup). Pada lapisan yang pertama bersemayamlah La Hupu Ina –
La Hupu Ama, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Di lapisan pertama
yang bernama Hupu Makanjudingu – Hupu Makapatangu (ujung yang gelap gulita )
ini, diciptakanNya seorang pria dan seorang wanita. Kedua orang itu
ditempatkanNya di suatu tempat yang bernama Kandau Ndai-Kabundu Tana Mulungu (hutan
tua dan bukit binasa) yang merupakan lapisan kedua. Di tempat ini lahirlah Walu
mini marimba-Walu kawini ratu (delapan laki-laki raja dan delapan wanita ratu)
dan delapan pasang ata (hamba). Akan tetapi, karena di lapisan kedua itu
terlalu sempit dan gelap, maka turunlah mereka bersama La Hupu Ina-La Hupu Ama
ke lapisan ketiga yang bernama Tana Tanjuruku- Watu Pahinggangu (tanah yang
longsor dan batu yang disangga). Tanah di lapisan ketiga mudah longsor sehingga
harus disangga dengan batu, lagi pula di lapisan ketiga itu masih terlalu
gelap. Oleh karena itu mereka turun lagi ke lapisan keempat yang bernama Lia
Kanjindingu-Lia Kapatangu (lubang yang gelap gulita). Di tempat ini masih gelap
gulita karena berada di dalam lubang. Kemudian turunlah mereka ke lapisan
kelima yang bernama Liangu Lira-Ngamba Watu (lubang sempit dan tebing batu).
Tempat itu pun masih terlalu sempit dan bertebing, tetapi tebing ini terbuat
dari emas. Dari lapisan kelima ini terlihatlah oleh mereka sinar terang yang
tembus dari bawah. Kemudian tebing emas itu dipecahkan oleh Umbu Pambalu- Rambu
Rubu. Setelah itu turunlah mereka ke lapisan keenam yang bernama Reti Wula-Kulu
Mbaya, Reti Ananjara-Pindu Anatau (kubur bulan dan tempurung kuningan, kubur
anak kuda dan pintu patung manusia). Di lapisan keenam, Tara Hau-Lulu Weu
menempa emas dari pecahan tebing di lapisan kelima untuk dijadikan dua buah
matahari dan dua buah bulan. Setelah jadi, lalu bermusyawarahlah mereka untuk
memutuskan hendak di manakah kedua matahari dan kedua bulan itu digantungkan.
Kemudian diputuskan bahwa kedua matahari dan kedua bulan itu akan digantungkan
di langit lapisan kelima oleh Tara Hau - Lulu Weu dengan mengendarai hanggeji
ruu patola-hanggeji mata taki (pelangi). Ternyata dengan adanya dua buah
matahari, hawa menjadi terlalu panas, maka yang sebuah diambil lagi, jadi yang
tinggal hanya sebuah matahari saja. Beberapa lama kemudian, kedua buah bulan
berselisih memperebutkan seorang wanita bernama Rambu Mbana yang berakhir
dengan kematian salah satu bulan, sehingga kini hanya satu bulan saja yang ada.
Pada waktu berada di lapisan keenam tersebut, para marapu belum mengetahui
adanya siang dan malam. Oleh karena itu, mereka meminta bantuan burung rawa
(punai) untuk menentukannya. Akan tetapi, burung rawa menentukan siang selama
satu tahun dan malam selama satu tahun pula, sehingga para marapu tidak
menyetujui karena terlalu lama. Kemudian mereka minta bantuan burung kuaka
(murai). “Kuaka waihangu, kuaka waihangu !” (“Besok siang, besok
siang !”), seru burung kuaka setiap pagi. Akhirnya penentuan oleh burung
kuaka itu disetujui para marapu. Di langit lapisan keenam itu pun para marapu
tidak tinggal lama. Mereka turun lagi ke lapisan ketujuh yang bernama Tana Mumu
– Watu Nggela (tanah berguncang dan batu bergoyang). Akan tetapi kini La Hupu
Ina – La Hupu Ama tidak ikut turun, tetap tinggal di lapisan keenam dan
ditemani oleh ahu walu ngiu – tawongu walu tiu (anjing delapan ekor dan lebah
delapan sarang). Ternyata keadaan di lapisan ketujuh itu pun tidak aman, sehingga
para marapu memutuskan untuk turun lagi ke lapisan kedelapan, kecuali Tara Hau
– Lulu Weu yang tetap tinggal di lapisan ketujuh. Di lapisan kedelapan, para
marapu tinggal lama dan mereka belajar segala pengetahuan serta nuku – hara
yang sampai kini diikuti oleh keturunannya di bumi. Langit pada lapisan
kedelapan ini bernama Taluara Mbidahu - Mau Mundi, Bangga Bila-Mau Njati (
halaman rata dan balai bercahaya di bawah naungan pohon jeruk dan pohon jati).
Akan tetapi, pada lapisan kedelapan ini para marapu masih merasa tidak aman,
karena itu mereka menyuruh Mbongu-Mbaku (kabut dan elang) terbang untuk mencari
tempat yang lebih baik bagi kediaman mereka. Pada suatu saat dalam
penerbangannya, Mbongu - Mbaku mendapatkan bahwa di bawah lapisan kedelapan ada
suatu dataran yang sangat luas. Namun setelah diselidiki ternyata yang terlihat
seperti dataran itu hanyalah air semata. Kemudian kembalilah mereka untuk
mengabarkan hal tersebut kepada para marapu. Setelah mendengar penjelasan itu,
para marapu mengutus Mbongu - Mbaku untuk menghadap La Hupu Ina-La Hupu Ama di
lapisan keenam. Di lapisan keenam, Mbongu-Mbaku menceritakan maksud mereka
kepada La Hupu Ina – La Hupu Ama yang kemudian memberi mereka berjenis-jenis
tanah dan batu agar dihamburkan ke seluruh permukaan air. Sekembalinya dan
lapisan keenam dan menyampaikan segala pesan La Hupu Ina- La Hupu Ama tersebut
kepada para marapu, kemudian Mbongu-Mbaku menghamburkan tanah dan batu itu ke
seluruh permukaan air sehingga terjadilah pulau-pulau besar dan kecil. Sesudah
segala pulau besar dan kecil itu ada, maka bermufakatlah para marapu untuk
turun ke bumi dengan panongu bahi- panongu atu (tangga besi dan teras kayu).
Mereka turun di Malaka-Tana Bara, kemudian mereka berlayar dengan menggunakan
karaba rongu-karaba rita (sampan randu dan puli) melalui Hapa Riu-Ndua Riu,
Hapa Njawa - Ndua Njawa, Ruhuku Mbali, Ndima- Makaharu, Endi-Ambarai,
Enda-Ndau, Haba-Rai Njua dan akhirnya tiba di Haharu Malai- Kataka Lindiwatu
(Tana Humba, Pulau Sumba).
Sistem Upacara-upacara Keagamaan
Menurut
Koentjaraningrat (1977:241), dunia gaib dapat dihadapi manusia dengan rasa
hormat, bakti, takut dan sebagainya, atau dengan suatu campuran dari segala
macam perasaan tersebut. Perasaan-perasaan itu akan mendorong manusia untuk
melakukan hubungan dengan dunia gaib yang disebut kelakuan keagamaan. Seperti
yang telah dikemukakan bahwa perasaan yang mendorong orang Umalulu untuk
melakukan hubungan dengan para marapu berlainan sekali dengan dorongan terhadap
mamarungu dan patau tana. Perasaan yang melatarbelakangi hubungan orang Umalulu
dengan para marapu didasari oleh rasa cinta ,hormat dan bakti, sebaliknya
terhadap mamarungu atau patau tana didasari oleh rasa takut dan benci.
Perasaan-perasaan yang berbeda inilah yang menentukan serta mewarnai kelakuan
keagamaan mereka, dan kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata
kelakuan baku yang biasa disebut upacara keagamaan. Upacara-upacara keagamaan
di Umalulu selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat
upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam upacara serta orang-orang
yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Pada bagian muka sudah
dikemukakan bahwa seluruh kehidupan orang Umalulu diliputi oleh rasa keagamaan.
Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan para marapu yang
merupakan media antara manusia dengan Penciptanya.
Tempat-tempat Upacara
Setiap
kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya
disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan dan dipuja di
dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu terutama di rumah yang
disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah
persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang
menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran,
perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Ada pun
rumah-rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara pemujaan terhadap
marapu yang mempunyai kekuasaan atau tugas tertentu, antara lain : Uma
karambua ialah tempat memuja leluhur untuk meminta kekayaan; Uma andungu ialah
tempat semuja leluhur untuk minta keberhasilan dalam peperangan; Uma payenu
ialah tempat memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin baru; Uma
pakilungu ialah tempat memuja leluhur untuk menolak bahaya penyakit; Uma
menggitu ialah tempat memuja leluhur untuk mengundang arwah-arwah yang berada
di hutan-hutan atau di gua-gua agar turut serta dalam mengalahkan musuh; Uma
mbaradita tempat memuja leluhur untuk meminta kekuatan, keberanian dan
kekebalan . Selain itu, tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya
di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada. Katuada ialah
tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang
dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada sisi-sisinya
diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam sesaji, seperti
pahapa, kawadaku dan uhu mangejingu diletakkan untuk dipersembahkan kepada
Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu.
Katuada
ini ada bermacam-macam menurut tempat dan fungsinya, yaitu : 1. Katuada
kawindu (tugu halaman), tugu sembahyang yang dipancangkan di halaman setiap
rumah. Pada tugu inilah tiap-tiap keluarga batih melakukan upacara pemujaan
kepada dewa-dewi agar dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari tugu ini
pula para marapu dari luar rumah diajak masuk bila ada upacara di dalam rumah,
dan sebaliknya para marapu yang berada di dalam rumah diajak ke luar bila ada
upacara di luar rumah. 2. Katuada paraingu ( tugu kampung ), tugu sembahyang
yang dipancangkan di muka uma bokulu. Tugu ini merupakan tempat upacara yang
meliputi kepentingan seluruh warga paraingu atau warga kuataku, misalnya pada
upacara hiri paraingu, puru la manangu dan pamangu langu paraingu. 3. Katuada
pindu (tugu pintu), tugu sembahyang yang dipancang di pintu kampung dan
merupakan tempat upacara sembahyang untuk menolak mara bahaya dari luar
kampung. Selain itu sebagai tempat untuk mengajak para marapu dan para arwah
lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara. Demikian pula sebaliknya. 4.
Ketuada padangu (tugu padang), tempat melakukan upacara sembahyang di padang
rumput untuk meminta agar hewan ternak berkembang biak dengan baik. 5. Katuada
wuaka (tugu kebun), tugu sembahyang yang dipancangkan di katiku wuaka (kepala
kebun) dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk minta kesuburan tanaman
serta menolak segala bencana. 6. Katuada latangu (tugu sawah), tugu sembahyang
yang dipancangkan di ngaru wai (mulut air), yaitu tempat permulaan air masuk ke
sawah. Tugu ini tempat upacara sembahyang untuk meminta keamanan dan kelimpahan
hasil tanaman di sawah. 7. Katuada padira tana (tugu batas tanah), tempat
mengulpulkan arwah-arwah dari seluruh tanah perkebunan agar tidak mengganggu
tanaman dalam kebun itu. 8. Katuada bungguru (tugu persekutuan) , tempat
upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan,
yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada Mawulu Tau — Majii Tau, para marapu
dan para arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil
panen yang baik. 9. Katuada patamangu (tugu perburuan). tempat upacara
sembahyang ketika hendak berburu dengan permohonan agar arwah-arwah yang berada
di tempat perburuan menolak segala bahaya dan memberikan hasil buruan seperti
yang diharapkan. 10. Katuada mananga (tugu muara), tugu sembahyang yang
dipancangkan di muara sungai dan merupakan tempat upacara untuk memohon
kebersihan lahan, menolak segala bencana dan agar hujan turun dengan baik.
Upacara sembahyang di katuada mananga ini biasanya dilakukan oleh seorang mangu
tanangu (tuan tanah). 11. Andungu (tiang). merupakan sebuah katuada juga, tapi
karena tugu ini merupakan tiang kekuatan dan seluruh kabihu maka disebut andungu.
Ada dua macam andungu, pertama yang disebut andu uhu (tugu padi), yaitu tugu
tempat upacara mengenai padi yang biasanya dipancangkan di rumah pusat mangu
tanangu; kedua yang disebut andu katiku (tugu kepala), yaitu tugu tempat
memancangkan kepala-kepala manusia yang berhasil di penggal dalam peperangan.
Tugu ini dipancang di muka rumah kabihu yang leluhurnya mempunyai kewajiban
untuk keperluan tersebut. 12. Pahuamba (penyembahan), merupakan suatu timbunan
batu yang biasanya berada di bawah pepohonan dan merupakan tempat upacara
pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu — Mata Lodu
(ujung langit dan matahari). Upacara pemujaan pada pahuamba ini dilakukan
ketika diadakan Pamangu Ndiawa (perjamuan dewa) yaitu upacara pemujaan dan
persembahan kepada para marapu agar seluruh warga tiap-tiap kabihu diberi
perlindungan dan kemakmuran. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan
kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Maha leluhur di Umalulu ialah Umbu
Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu
rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang
dalam luluku disebut sebagai Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang
tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan orang Umalulu,
Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak
kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar.
Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena
itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaan Uma
Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya
dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali) karena untuk datang dan
membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah
ditetapkan oleh para leluhur. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah
tak bermenara) dan rnenghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai,
hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu
Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu
ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang
(jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap
dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan
huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu
tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang
dilakukan di Uma Ndapataungu ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan
empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan
tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan
yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali.
Saat-saat Upacara
Menurut
pandangan orang Umalulu, manusia itu merupakan bagian dari alam semesta yang
tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam
semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan
alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan
hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta
ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan
alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut
berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dan manusia
yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat
mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa
para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah
berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara
manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan
yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan
kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai
upacara. Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci,
genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus
diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu
untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada suatu kalender adat yang
disebut tanda wulangu. Kalender adat ini tidak boleh diubah atau ditiadakan
karena telah ditetapkan berdasarkan nuku — hara dari para leluhur. Bila diubah
akan menimbulkan kegoncangan yang menimbulkan bahaya dan kemarahan para
leluhur. Secara kalender adat setiap tahun dibagi dalam dua belas bulan yang
pada setiap bulannya selalu ada acara-acara adat.
Kalender adat ini, seperti yang masih
dilakukan orang Umalulu, adalah sebagai berikut :
1.
Wulangu Mangata (Maret-April). Bulan
pertama ini merupakan bulan padira ura tana – padira wula mbaki, yaitu bulan
batas tahun kepicikan dan kelaparan. Pada bulan inilah diiaksanakan pesta dan
upacara Pamangu langu paraingu (pesta dan upacara tahun baru), sebagai suatu
saat untuk menghabiskan hasil tahun yang lama dan menanti hasil pada tahun yang
baru. Segala yang lama harus diganti dengan yang baru. Rumah-rumah, halaman,
kubur-kubur dan kampung harus dibersihkan, demikian pula dengan alat-alat rumah
tangga dan pakaian harus dibersihkan atau diganti dengan yang baru. Pada
perayaan ini, setiap keluarga saling mengunjungi dan saling memaafkan atas
segala kesalahan yang telah dibuat. Di setiap kampung dilakukan upacara Na ruku
aku marapu — lii marapu, yaitu upacara pengakuan dosa dan kebaktian kepada para
marapu yang dilaksanakan di katuada paraingu dengan membawa persembahan pahapa,
kawadaku dan mangejingu. Selain itu pada setiap malam diadakan tari-tarian
dengan diiringi nyanyian Ludu langu paraingu yang dibawakan oleh pemuda-pemudi.
Di kebun dilaksanakan pula upacara Huamba ihi wuaka (mensucikan isi kebun) yang
dimaksudkan agar para marapu dan para arwah penjaga kebun memberi kesuburan
serta kelimpahan hasil kebun itu. Upacara ini dilakukan di katuada wuaka.
2.
Wulangu Paludu (April-Mei). Pada bulan
ini dilakukan upacara Habarangu papu wataru yaitu upacara memohon izin untuk
memetik jagung. Setiap keluarga batih yang hendak panen jagung membawa
persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu serta melaksanakan upacara pemujaan
di katuada wuaka. Bagi pemuda dan pemudi yang handak menikah, mereka melakukan
upacara Paihingu marapu ba papa yang dimaksudkan agar para marapu memberi izin
mereka untuk melangsungkan pernikahan. Upacara ini dilaksanakan di rumah si
pemuda atau si pemudi yang hendak menikah. Pada malam hari, ketika membersihkan
dan mengikat jagung, penduduk desa baik pria maupun wanita, tua dan muda
mengadakan dekangu, pangiarangu yang disertai nyanyian-nyanyian pantun seperti
panawa, padira analalu dan ludu hema.
3.
Wulangu Ngura (Mei-Juni). Hal-hal yang
dilakukan pada bulan ketiga ini antara lain melaksanakan upacara Paihingu
marapu ba muti, yaitu upacara meminta izin kepada para marapu untuk menuai
padi. Upacara in dilaksanakan di uma bokulu dan di katuada paraingu dengan
mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Pada malam harinya dilakukan
upacara yang sama di ladang atau di sawah. Kemudian dilanjutkan dengan resitasi
lii marapu yang disertai oleh nyanyian-nyanyian. Keesokan harinya dilakukan
upacara dan pesta potong padi yang disebut Haberangu muti atau Muti uhu. Pada
waktu menuai diundang pula orang-orang dari kampung lain sehingga merupakan
suatu keramaian. Malam harinya dilanjutkan dengan parina (injak padi) yang
dilakukan sambil menari dan menyanyi sampai pagi hari.
4.
Wulangu Tua Kudu (Juni – Juli). Pada
bulan ini di ladang dilakukan pesta dan upacara Kanduku wuaka, yaitu upacara
tutup panen yang dilaksanakan untuk menyatakan rasa terima kasih kepada para
marapu dan Mapadikangu Awangu Tana yang telah memberi hasil panen yang baik.
Pasta tutup panen ini berlangsung beberapa malam yang diisi dengan nyanyi dan
tari. Pada waktu penutupan dilakukan upacara paluhu kalamba dan upacara paluhu
tada, yaitu upacara mengeluarkan sekam padi dan kulit jagung ke luar kampung
dengan maksud agar para marapu menghilangkan segala hal yang buruk dari
hasil-hasil yang diperoleh dan memohon agar pada waktu mendatang diberi hasil
yang lebih baik.
5.
Wula Tua Bokulu (Juli – Agustus).
Upacara-upacara yang dilakukan pada bulan kelima ini antara lain upacara
Pamangu kawunga, Habarangu la katuada bungguru dan upacara-upacara yang
berkaitan dengan siklus hidup manusia. Upacara Pamangu Kawunga ialah upacara
permujaan untuk mernpersembahkan hulu hasil kepada para marapu terutama kepada
Marapu Ratu yang dileksanakan setiap empat tahun sekali di rumah pemujaan Uma
Ndapataungu. Upacara ini bertepatan pula dengan diperbaikmnya rumah pemujaan
tersebut dan merupakan suatu pesta adat kaum keluarga yang mempunyai hubungan
dengan marapu yang bersangkutan. Dalam upacara ini setiap kabihu diwajibkan
mempersembahkan hulu hasil yang berupa hunggu maraku (persembahan yang berupa
hasil pertanian, terutama padi, dan hasil peternakan), pahapa dan kawadaku
Biasanya dalam masa-masa persiapan sudah diadakan tari-tarian, resitasi lii
marapu yang disertai nyanyian-nyanyian hingga upacara selesai. Upacara
Habarangu la katuada bungguru ialah upacara yang dilaksanakan ketika akan
membuka hutan untuk dijadikan ladang baru. Upacara ini dilaksanakan di katuada
bungguru dengan maksud agar semua dewa-dewa dan arwah-arwah yang berada di seluruh
peladangan dan hutan memberkati pekerjaan mereka. Adapun upacara-upacara siklus
hidup yang dilakukan pada bulan keIima ini ialah upacara yang tidak berhubungan
dengan kelahiran dan kematian, melainkan upacara yang berhubungan dengan
inisiasi dan perkawinan. Upacara-upacara itu ialah upacara puru la wai (turun
ke air, sunat) untuk pemuda, upacara nggutingu (gunting rambut) untuk pemudi,
kemudian dilakukan pula upacara rondangu (potong gigi), kamiti (menghitamkan
gigi ) dan katatu (rajah tubuh) yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi. Selain
itu pada bulan ini dilakukan pula upacara pamau papa (perkawinan).
6.
Wulangu Kawuluru Kudu (Agustus –
September).
Pada bulan
ini dilakukan upacara Pamangu lii ndiawa – lii pahuamba atau disebut
juga upacara Wunda lii hunggu — lii maraku,
yaitu upacara persembahan dan pesta perjamuan para dewa. Pesta dan
upacara ini memerlukan persiapan tujuh tahun lamanya dan baru pada tahun
kedelapan dapat dilaksanakan. Pesta dan upacara ini sebenarnya bukan bersifat
umum, melainkan khusus untuk satu atau dua kabihu yang bersangkutan. Akan
tetapi setiap kabihu yang berada di bawah pengaruh kabihu yang mengadakan pesta
diwajibkan membawa persembahan pula berupa pahapa, kalaja wingiru — kalaja bara
(nasi kebuli kuning dan putih), wolu la pahiki — wolu la papanda (tuak dalam
guci dan botol kuningan), kanata huluku — kanata kuluru (sirih pinang yang
digulung), kawadaku marara — mabara (keratan mas dan perak) dan manu palunggu —
karambua papawiringu ( ayam yang terbaik dan kerbau yang disucikan). Upacara
ini dilaksanakan di uma bokulu dan di rumah pemujaan Uma Ndapataungu sebagai
tanda bakti kepada Marapu Ratu dan para marapu lainnya dengan harapan agar
diberi kesuburan dan kemakmuran. Pada malam hari diadakan tari-tarian,
nyanyian-nyanyian dan resitasi lii
marapu. Apabila sedang tidak melakukan upacara-upacara tersebut, orang Umalulu melakukan upacara
lainnya, misalnya upacara wulu uma (upacara membuat rumah), atau upacara pamau
papa.
7.
Wulangu Kawuluru Bokulu (September –
Oktober). Pada bulan ini upacara-upacara yang biasa dilakukan ialah upacara
wulu uma dan upacara pamau papa . Bagi keluarga-keluarga yang hendak menanam
jagung, maka harus melakukan upacara Paihingu marapu ba tondungu wataru di
katuada kawindu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu.
Kemudian dilakukan lagi upacara Habarangu tondungu wataru di katuada wuaka.
8.
Wulangu Ringgi Manu (Oktober -
Nopember). Pada bulan ini dilakukan upacara Hiri paraingu — paluhu maranga,
yaitu upacara membersihkan kampung dari bahaya penyakit dengan mempersembahkan
pahapa, kawadaku dan mangejingu. Upacara-upacara lainnya yang dapat dilakukan
pada bulan ini ialah upacara pamau papa dan upacara pataningu (penguburan).
9.
Wulangu Tula Kawuru
(Nopember—Desember). Bulan kesembilan ini disebut pula bulan kahana (sepi),
karena hampir tidak ada upacara-upacara yang dilakukan penduduk. Upacara yang
dapat dilakukan pada bulan ini ialah upacara pataningu.
10. Wulangu
Habu (Desember – Januari). Pada bulan ini dibakukan upacara Paihingi marapu ba
tondungu, yaitu upacara untuk meminta izin kepada para marapu agar
diperbolehkan mulai menanam. Upacara ini dilakukan oleh setiap kepala keluarga
di katuada kawindu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu.
Setelah itu diadakan pula upacara di ladang atau di sawah, yaitu upacara
Habararangu tondungu yang dilaksanakan di katuada wuaka dan di katuada padira
tana dengan maksud agar para marapu dan para arwah yang berada di ladang
memberi kesuburan dan tidak mengganggu tanaman yang akan ditanam. Bagi
keluarga-keluarga yang hendak memetik jagung siram diharuskan melakukan upacara
Habarangu papu wataru.
11.
Wulangu Wai Kamawa (Januari –
Pebruari). Seperti halnya bulan kesembilan, bulan kesebelas ini disebut pula
bulan kahana (sepi). Pada bulan ini angin bertiup sangat keras disertai hujan
deras sehingga adakalanya membawa bencana, karena itu bulan ini disebut wai
kamawa.
12. Wulangu
Mbuli Ana (Pebruari – Maret). Pada bulan ini dilakukan upacara Hemi rau uhu -
rau wataru, yaitu upacara yang dilakukan ketika jagung mulai berbuah dan padi
mulai berbunga. Upacara di lakukan di ladang dan dimulai pada malam hari dengan
menceritakan lii marapu semalam suntuk. Pagi harinya dilakukan upacara mengusap
daun jagung dan daun padi dengan air santan yang telah diberkati oleh ratu.
Bagi orang-orang yang hendak pergi berburu diwajibkan melakukan upacara
Patamangu dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu di katuada
bungguru.
Dalam
jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Umalulu ada saat yang
dianggap genting atau krisis. Saat-saat itu ialah sekitar kelahiran, menginjak
dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat sekitar kelahiran seorang bayi, ada
beberapa peristiwa penting yang harus mendapat perhatian orang tua dan kaum
kerabatnya. Misalnya pada bulan keempat masa kehamilan, diadakan upacara
Pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa, kewadaku
dan mangejingu kepada para marapu dan Ndiawa Tumbu — Ndiawa Dedi (Dewa Tumbuh
dan Lahir) agar kandungan luput dari mara bahaya. Selain itu untuk mencegah
adanya kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat jahat, seorang wanita yang sedang
hamil selalu menyelipkan sebilah pisau bertuah di pinggangnya. Selama kehamilan
suami-istri harus mentaati beberapa pantangan makanan dan perbuatan agar
nantinya tidak menyulitkan kelahiran dan tidak menimbulkan cacat kepada anak
yang akan lahir. Bila saat kelahiran telah tiba dilakukanlah upacara Hamayangu
dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu untuk menyambut tamu yang baru
datang dari alam gaib. Menurut anggapan orang Umalulu, ana rara (bayi) yang
akan lahir adalah makhluk gaib yang datang dari alam gaib dengan tena (perahu).
Oleh karena itu , untuk melancarkan kelahirannya, segala dosa orang tuanya
harus diakui dan segala kelalaian dalam memenuhi kewajiban terhadap para marapu
harus dinyatakan. Setelah bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara
Dekangu tamu, dilakukan lagi upacara Hamayangu baha kaheli untuk membersihkan
segala kekotoran dan menghaturkan terima kasih kepada para marapu. Ketika bayi
sudah berumur empat hari dilakukan upacara Kikiru (cukur). Kemudian rambut dan
tali pusar si bayi disimpan dalam kahipatu untuk turut dikuburkan bila dia
meninggal di kemudian hari. Apabila sudah berumur delapan hari dilakukan
upacara Hangguru, yaitu upacara penyambutan si bayi di tengah kaum kerabatnya.
Pada masa inilah ia mulai menginjak tanah dan turut mandi di sungai.
Upacara-upacara tersebut selalu disertai dengan persembahan pahapa, kawadaku
dan mangejingu. Khususnya persembahan mangejingu pada upacara Hangguru, harus
disediakan seekor babi yang seIuruh tubuhnya berwarna hitam (wei mitingu).
Setelah berumur antara dua sampai tiga tahun dilakukan upacara peralihan dari
masa anarara menjadi anakiada (kanak-kanak), yaitu upacara Papaita wai huhu
(memahitkan air susu, penyapihan). Upacara ini dilakukan dengan permohonan
kepada para marapu agar si anak cepat besar, diberikan rejekinya dan
keselamatan. Pada masa ini seorang anakiada sudah boleh makan telur ayam dan
mengikuti orang tuanya bekerja di ladang. Anakiada yang berusia antara dua
sampai delapan tahun biasanya disebut anakiada kudu. Pada usia ini, anak
perempuan disebut pula hiliwuku kudu (gadis kecil), karena rambut mereka
dicukur gundul hanya bagian atasnya saja, bagian belakang dibiarkan panjang,
sedangkan bagian atas dahi disisakan sedikit. Setelah melalui masa anakiada
kudu, yaitu antara usia delapan sampai enam belas tahun, anakiada ini disebut
anakiada matua atau hiliwuku bokulu (gadis besar). Rambut mereka masih dicukur
seperti anakiada kudu tetapi sudah lebih teratur. Sedangkan untuk anak
laki-laki biasanya hanya dicukur pendek saja, kecuali pada masa anakiada kudu
mempunyai potongan yang sama dengan anak perempuan. Pada waktu anakiada beralih
menjadi bidi tau , yaitu antara usia enam belas sampai dua puluh empat
tahun,dilakukan berbagai upacara untuk menghadapi saat krisis dalam menginjak
dewasa. Untuk para bidi mini (pemuda) dilakukan upacara Puru la wai (turun ke
air) yang disebut juga upacara Waku atau Kari. Beberapa pemuda dengan jumlah
genap berpasangan mempersiapkan diri selama tiga hari untuk merayakan upacara
itu. Mereka membuat suatu pondok yang tersembunyi di dekat sungai. Ke pondok
itulah mereka membawa makanan berupa ayam, babi dan kambing yang mereka peroleh
secara meminta atau mencuri di kampong-kampung sekitarnya. Pada hari keempat,
ratu atau paratu yang bertindak sebagai pengatur upacara mengundang para ama
bokulu untuk melakukan upacara hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku
dan mangejingu yang dilanjutkan dengan pemotongan ayam dan babi. Sementara itu
masing-masing calon mengaku dosa dan memohon ampun. Kemudian kulup alat
kemaluan mereka ditetak atau ditoreh dengan pisau tajam di atas tempurung.
Beberapa hari kemudian setelah mereka sembuh, diadakan selamatan dengan
memotong ayam, babi atau kerbau, Dengan dilaksanakannya upacara itu diharapkan
tambahan kekuatan gaib untuk kesuburan dan kesejahteraan. Setelah upacara sunat
itu selesai, masih ada lagi upacara yang harus dilakukan oleh pemuda menjelang
dewasa, yaitu upacara rondangu (memapar gigi ) yang disertai dengan kamiti
(menghitamkan gigi). Selanjutnya dibuat katatu (rajah tubuh) dengan berbagai
gambar. Rajah tubuh ini perlu dilakukan karena sebagai tanda pengenal bila
masuk ke Parai Marapu. Menurut kepercayaan setempat, orang yang tidak mempunyai
katatu akan ditolak memasuki Parai Marapu. Bagi para bidi kawini (pemudi) atau
disebut juga anakaria (anak dara) dilakukan upacara Nggutingu (menggunting)
sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa. Selain itu dilakukan pula upacara
Rondangu, Kamiti dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara Rondangu,
dilakukan pula upacara pemujaan secara sederhana dengan persembahan dan hewan
kurban. Saat peralihan lain yang merupakan saat krisis dan dianggap penting
dalam kehidupan seseorang ialah saat perkawinan. Untuk menghadapi saat krisis
itu, orang Umalulu melakukan upacara Pamau papa (memberkati jodoh) dengan
maksud meminta pertolongan, perlindungan, pemeIiharaan dan berkat dari para
marapu. Saat peralihan lainnya yang dianggap penting pula ialah kematian. Saat
kematian merupakan saat perubahan atau perpindahan dari alam nyata ke alam gaib
yang dalam luluku dikatakan njulu la kura luku — halubu la mandu mara (menjelma
bagai udang sungai dan berubah bagai ular darat). Tubuh yang mati hanyaiah
sebagai tada (kulit) atau haruma (selaput) dan tidak bersifat kekal, sedangkan
yang hidup kekal ialah ndiawa (roh). Roh inilah yang harus kembali kepada
Mawulu Tau — Majii Tau. Akan tetapi, Selama tubuh yang mati itu belum
dikebumikan dengan berbagai upacara, maka selama itu pula rohnya masih
melayang-layang dan dapat membawa bahaya, baik terhadap kerabatnya maupun
terhadap orang lain. Orang Umalulu membedakan dua macam kematian, yaitu meti
mbana (kematian panas) dan meti maringu (kematian dingin). Adapun yang dimaksud
dengan meti mbana ialah kematian yang bukan disebabkan oleh ketuaan atau
penyakit, melainkan karena mati terlantar (njadangu), kecelakaan ( manjurangu)
dan akibat perang ( meti la pabiara). Sedangkan meti maringu ialah kematian
yang disebabkan oleh usia tua atau penyakit. Pada saat kematian seseorang
diumumkan, keluarga dan kenalan dekatnya datang dengan membawa kain kapan,
sarung, selimut dan ikat kepala. Pahapa dan mangejingu dipersiapkan, gong
dibunyikan disertai lagu duka dan ludu ratu. Kemudian dilakukanlah upacara
Pahadangu, yaitu upacara pemasukan janazah ke dalam kabangu (keranda) secara
duduk dengan lutut dilipat dan bertopang dagu serupa janin dalam rahim ibu.
Semua kain bawaan orang yang datang melayat diselubungkan pada jenazah.
Kemudian jenazah dipindahkan ke kaheli bokulu (balai besar) dan selama empat
malam dijaga bergiliran oleh kaum keluarganya. Pada waktu itu pula
dipersembahkan korban kerbau, kuda, babi dan ayam.
Adapun
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberi persembahan pada saat
kematian ini adalah :
1.
Yubuhu — karandi (kapan dan pengikat), terdiri dan kain selimut (hinggi) dan
kain pengikat (tiara) bila si mati itu laki-laki, sedangkan untuk wanita ialah
sarung (lau) dan tiara. Hal ini pun dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yubuhu
la tana (kapan di tanah) yang harus disertakan dengan si mati ke dalam kubur,
dan yubuhu kaheli (kapan di balai-balai) untuk keluarga si mati sebagai
sumbangan. Yubuhu karandi ini dibawa oleh pihak yiara-anamini (ipar &
saudara laki2).
2.
Dangangu - ihi ngaru (iringan dan isi mulut), terdiri dari perhiasan mas dan
perak, kerbau dan kuda. Dangangu dibedakan antara danga meti (iringan mati ),
yaitu kurban yang harus dipotong, dan danga luri (iringan hidup ) yaitu yang
diberikan kepada keluarga si mati sebagai sumbangan. Sedangkan Ihi ngaru
dibedakan antara ihi ngaru la tana (isi mulut di tanah), yaitu perhiasan mas
perak yang harus disertakan ke dalam kubur, dan ihi ngaru la kaheli (isi mulut
di balai-balai) yang diberikan untuk keluarga si mati sebagai sumbangan.
Dangangu — ihi ngaru ini dibawa oleh pihak laiya - anakawini (ipar dan saudara
wanita). Jadi pembawaan orang pada saat kematian selalu dari dua jurusan, yaitu
dan pihak yiara (pemberi wanita) dan dari pihak laiya (penerima wanita). Orang
lain yang termasuk kerabat dapat membawa salah satu dari dua macam pembawaan
tersebut. Selain itu jenazah baru boleh dikuburkan setelah semua sengketa antar
keluarga (bila ada) didamaikan, suatu hal yang kadang-kadang menuntut waktu
lama. Apabila kemungkinan pelaksanaan pemakaman masih lama lagi, maka untuk
menyimpan jenazah dilakukan upacara kaba tana kawaru watu. Dalam upacara ini
jenazah dimasukkan ke dalam peti tanah atau batu kemudian dimakamkan, tetapi belum
pemakaman yang sesungguhnya. Cara lainnya lagi ialah jenazah dimasukkan ke
dalam kabangu (keranda), kemudian diletakkan di dalam sebuah kawarungu (pondok)
yang dibuat di tengah halaman dekat pekuburan, atau dapat pula diletakkan di
kaheli bokulu. Jenazah dalam kabangu itu selalu dijaga oleh orang-orang yang
khusus untuk maksud itu yang disebut pahapanggangu (yang dipapah, pengawal
arwah). Setiap malam diadakan persembahan berupa makanan kepada arwah, berupa
pahapa dan kurban ayam atau babi. Ada kalanya pula dipotong kerbau atau kuda,
yaitu bila ada kerabat lain yang hendak pawala (berjaga). Penyimpanan jenazah
ini dapat berlangsung empat bulan, delapan bulan atau lebih, bahkan ada kalanya
hingga bertahun-tahun, terganturig pada mungkin atau tidaknya upacara pemakaman
dilaksanakan. Apabila ternyata segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan
upacara pemakaman memungkinkan, maka empat atau delapan hari sebelumnya
dilakukan dundangu (mengundang) ke seluruh kerabat, handai-taulan di dalam atau
di luar kampung untuk menghadirinya. Biasanya keluarga yang jauh tempat
tinggalnya, datang sehari sebelumnya. Sedangkan keluarga yang bertempat tinggal
dekat serta undangan lainnya datang pada hari pemakaman. Mereka disambut tuan
rumah dengan segala hormat dan dipersilakan duduk di bangga hanamba, kemudian
dibagikan sirih pinang dalam tanga wahilu. Kaum wanita biasanya langsung naik
ke kaheli bokulu untuk meratapi jenazah. Setelah penyambutan tamu dan
menetapkan perimbangan bawaan, dipersiapkan perbekalan si mati untuk ke alam
arwah. Untuk keperluan itu disembelih seekor kerbau. Gong dibunyikan disertai
nyanyian lagu duka dan ratap tangis para kerabat. Sementara itu para
pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah) didandani dengan pakaian dan
perhiasan yang indah. Ketika saat pemakaman tiba, jenazah diturunkan dari rumah
dan diarak dengan banyak pengawal ke pekuburan. Pengawal yang menunggang kuda
dipayungi dengan payung yang dilapisi kain sutera. Pada saat itu para pengawal
menjadi tidak sadar (trance) sehingga harus dipapah. Sementara itu dua pasang
kuda disembelih dan perbekalan arwah si mati dibuang ke arah matahari terbenam.
Setibanya di pekuburan, jenazah dikeluarkan dari keranda, lubang kubur ditutupi
kain, kemudian jenazah diturunkan dan didudukkan menghadap ke arah matahari
terbenam. Pada saat inilah kaum keluarga yang ingin memberi bekal kepada arwah
si mati melemparkan benda-benda berharga ke dalam lubang kubur. Setelah itu
lubang ditutupi tanah dan di atasnya ditutupi lagi dengan watu reti (batu
kubur). Pada kalangan bangsawan, mulut lubang kubur itu ditutupi batu rata,
kemudian di atasnya ditaruh sebuah batu besar yang diberi kaki , dan pada
bagian kepala serta kaki didirikan penji reti (batu nisan). Kubur yang semacam
itu disebut reti pawihi. Ketika jenazah diturunkan ke dalam lubang kubur,
disembelih lagi dua pasang kuda agar arwah si mati dapat mengendarainya ke
Parai Marapu Sesudah semuanya beres, para pengurus jenazah mencuci tangan
mereka dengan air kelapa empat buah di atas kubur. Para wanita meletakkan
pahapa dan menyirami bagian hulu kubur dengan minyak wangi. Selanjutnya
dilakukan upacara Pahewa (berpisah), yaitu upacara perpisahan antara si mati
dengan kaum kerabatnya yang datang dan kampung lain. Peristiwa itu ditandai
dengan diberikannya kain kepada pihak layia, dan perhiasan mas perak kepada
pihak yiara. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama. Empat hari
kemudian dilakukan upacara Padita waimata (menaikkan air mata). Saat itu
merupakan saat terakhir meletakkan pahapa di atas kubur dan berakhir pulalah
saat perkabungan. Dalam upacara ini dikorbankan seekor kerbau atau babi.
Keesokan harinya semua kerabat diberi jamuan makan minum, memberi kain kepada
pihak layia, memberi kuda dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara dan
masing-masing diberi pula kameti (daging kurban). Setelah itu berpisahlah
mereka semua. Empat tahun kemudian dilakukan upacara perpisahan terakhir, yaitu
upacara Palundungu. Upacara ini dilaksanakan untuk menyampaikan arwah si mati
ke Parai Marapu, karena menurut kepercayaan, sebelum dilakukan upacara ini maka
arwah si mati hanya tinggal di luar kampung saja. Upacara dimeriahkan dengan
memotong babi dan kerbau sebagai kurban bagi para marapu dan hidangan bagi kaum
kerabat. Sebagai tanda bahwa hubungan dengan alam nyata sudah putus, maka
tempat sirih pinang si mati dibuang ke luar kampung. Dengan berakhirnya upacara
tersebut, arwah si mati sudah menjadi marapu seperti arwah para leluhur
lainnya. Para arwah itu setahun sekali diundang untuk menikmati persembahan
pada pesta Pamangu langu paraingu yang diadakan setiap Wulangu Mangata.
Benda-benda Upacara
Untuk memperingati marapu, orang
Umalulu mengeramatkan benda-benda yang biasanya digunakan dalam
upacara-upacara. Berdasarkan fungsinya. benda-benda keramat itu dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu benda-benda upacara dan alat-alat upacara. Benda-benda
upacara dijadikan obyek pemujaan, karena dianggap sebagai lambang yang mewakili
para marapu. Sedangkan alat-alat upacara tidak dijadikan obyek pemujaan.
Walaupun demikian, alat-alat itu dianggap keramat pula karena telah lama
digunakan sebagai alat pemujaan. Benda-benda upacara yang dikeramatkan itu
disebut tanggu marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua
golongan, yaitu ; Pertama, tanggu marapu la hindi (bagian marapu di atas
loteng), yaitu benda-benda yang sangat dikeramatkan sehingga tidak seorang pun
boleh menyentuh benda-benda itu kecuali ratu dan paratu Manurut kepercayaan,
roh-roh leluhur ada di dalam benda-benda itu (biasanya terbuat dan emas)
sehingga dianggap sebagai marapu itu sendiri. Tanggu marapu la hindi yang
paling dipuja di Umalulu ialah tanggu marapu dari Uma Ndapataungu yang berupa
perhiasan emas dan dua buah guci yang disebut na mbalu rara — na kihi muru.
Suatu hal yang istimewa dari tanggu marapu dari Uma Ndapataungu ini ialah tidak
disimpan di dalam menara rumah seperti tanggu marapu iainnya, melainkan
mempunyai tempat khusus, yaitu di dalam rumah pemujaan yang disebut Uma
Ndapataungu juga. Tanggu marapu dalam golongan kedua ialah tanggu marapu la
kaheli (bagian leluhur di balai). Tanggu marapu golongan ini merupakan
benda-benda pusaka yang dimiliki oleh suatu kabihu dan tidak sekeramat tanggu
marapu la hindi. Tanggu marapu la kaheli ini antara lain berupa
perhiasan—perhiasan mas perak, kain kain, gelang gading, kalung manik-manik,
gong, perhiasan kepala dan sebagainya. Bila ada peristiwa-peristiwa penting,
seperti upacara kematian, pesta langu paraingu dan pamangu ndiawa benda-benda
tersebut dipamerkan. Adapun alat-alat upacara antara lain berupa wadah-wadah
yang terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, piring tembaga atau
perunggu, pisau, parang, tombak, gunting, piring kayu, lesung, periuk tanah,
tali dan kendali kuda.
Kelompok-kelompok Keagamaan.
Di
dalam masyarakat Umalulu dapat dikatakan tidak ada satu segi kehidupan yang
tidak diliputi oieh rasa keagamaan. Sudah sejak lahir seseorang dipersiapkan
untuk melayani kepentingan marapu-nya. Anak-anak selalu dibawa untuk turut
serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi sesaji
yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh marapu.
Demikian pula ketika anak-anak itu mulai menginjak masa remaja atau masa
dewasa. Mereka diwajibkan turut berpartisipasi dalam berbagai upacara, misalnya
membantu orang tuanya mempersiapkan sesaji atau mewakili untuk menghadiri suatu
upacara karena orang tuanya sedang berhalangan. Ketika hendak menjalani hidup
berumah-tangga, seorang laki-laki mengambil istri dengan maksud utama ka napohu
kalaja wingiru — kalaja bara (agar meramu sesaji kuning dan sesaji putih),
maksudnya agar ada yang membuat nasi kuning dan nasi putih yang menjadi
persembahan utama kepada marapu, karena tujuan utama dari perkawinan ialah
supaya tetap ada yang melayani kepentingan marapu, yang dalam ungkapan
dikatakan mata ka ningu mapadukulu epi la au — mapakalibuku wai la mbalu ( agar
ada yang menghidupkan api di dapur dan yang mengisi air ke tempayan). Suami
istri yang masih muda adalah pengganti dan penerus tugas orang tua untuk
melayani kepentingan marapu. Secara umum setiap orang wajib memuja marapu
dengan memberi persembahan dan bersembahyang. Oleh karena itu dalam suatu
biliku (keluarga batih), suami dan istri harus bekerja sama menyediakan bahan
sajian untuk dipersembahkan kepada marapu. Sebagai pemegang pimpinan utama
dalam suatu biliku (keluarga batih), seorang ama (bapak, kepala keluarga)
mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan yang menyangkut
kehidupan keluarganya. Dalam bidang keagamaan ama inilah yang mengambil
prakarsa untuk mengadakan bahan sesaji dengan mengerjakan sawah ladang,
memelihara ternak atau melakukan pekerjaan lainnya. Sedangkan istrinya yang
mengolah bahan itu. Bila ada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam
rumahnya, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian, ama inilah
yang memimpin dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara
pemujaan. Hak dan kewajiban ama tidak terbatas dalam bilikunya saja. Sebagai
warga uma dia pun harus turut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang
dilakukan warga uma lainnya. Setelah dia menjadi boku (kakek) dari cucu-cucunya
atau menjadi ama bokulu (bapak besar, sesepuh) dalam suatu uma maka hak dan
kewajibannya akan bertambah pula. Segala urusan yang meliputi kepentingan
seluruh warga uma berada di bawah tanggung jawabnya. Di dalam uma ia diwakili
oleh anak laki-lakinya yang tertua. Seperti telah dikemukakan bahwa kelompok
kekerabatan yang terbesar dalam masyarakat Umalulu ialah kabihu. Kabihu
merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari segabungan uma-uma yang merasa
diri berasal dan satu nenek moyang. Setiap kabihu rnempunyai benda-benda pusaka
tertentu yang dianggap keramat dan yang berhubungan dengan asal mula dari
kabihu itu. Benda-benda yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu. Para warga
kabihu wajib melakukan serangkaian upacara yang berhubungan dengan tanggu
marapu itu atau yang berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhurnya.
Upacara-upacara biasanya dilakukan di rumah pusat (uma bokulu) dari kabihu yang
bersangkutan, karena rumah bukan saja sebagai tempat tinggal manusia, tetapi
yang paling utama adalah tempat melakukan kebaktian kepada marapu. Upacara
terpenting yang dilakukan di uma ialah upacara Puru la wai dan upacara
Nggutingu. Dalam upacara-upacara itu, anak-anak para warga kabihu yang telah
mencapai usia tertentu diresmikan menjadi warga kabihu yang dewasa. Setiap
kabihu tidak pernah berdiri sendiri , dan selalu mempunyai hubungan dengan
kabihu lain. Hubungan tersebut bisa terjadi karena di antara kabihu-kabihu itu
mungkin berasal dan satu leluhur, ada hubungan kekerabatan atau karena ada
sangkut paut dengan sejarah leluhurnya. Dengan melalui musyawarah, mangu
tanangu sebagai pemimpin dan penganjur menghimpun semua kabihu yang ada di
dalam wilayah kekuasaannya dalam suatu parkampungan besar yang disebut
paraingu. Dalam suatu paraingu setiap kabihu diwajibkan untuk turut ambil
bagian dalam upacara pemujaan terhadap satu marapu ratu. Di Umalulu, Marapu
ratu dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia yang disebut Uma
Ndapataungu. Demikianlah, dapat dikatakan paraingu adalah tempat pemujaan,
karena setiap upacara pemujaan yang penting harus dilakukan di paraingu,
misalnya upacara Pamangu langu paraingu, Pamangu kawunga dan Pamangu lii ndiawa
— lii pahuamba. Upacara-upacara tersebut dilakukan dengan maksud agar marapu
ratu serta marapu lainnya memberi perlindungan, berkat, kesuburan dan
kemakmuran. Pemujaan terhadap Uma Ndapataungu itulah yang menjadi pusat
persekutuan kabihu-kabihu yang terdapat dalam paraingu . Adapun orang yang
khusus melayani upacara pemujaan terhadap Uma Ndapataungu ialah para ratu dan
paratu.
Perubahan Dewasa Ini
Hampir
seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Umalulu diliputi oleh rasa keagamaan.
Bisa dikatakan sampai dewasa ini agama asli mereka mempunyai pengaruh besar
terhadap kehidupan mereka terutama di kalangan masyarakat desa. Karena itu
tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama
lain. Menurut Widijatmika (1980:11-12), dalam perkembangannya masyarakat Sumba
pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu
Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun pengaruh Hindu tersebut hampir tidak
memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh
agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba
saja. Pekabaran atau penyebaran agama Kristen sudah sejak tahun 1881
dilancarkan, tapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada
golongan Ratu dan Maramba) dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba, namun itu
pun tak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat
memengaruhi masyarakat untuk beralih agama (Kapita,1976:80). Selain itu
sekolah-sekolah dari pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di
Melolo (ibukota kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks school
(Widijatmika,1980:33). Meskipun demikian ternyata usaha-uasaha tersebut belum
mendapat hasil yang memuaskan. Berdasarkan asumsi bahwa kehidupan di dunia
selalu berubah. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang
tidak berubah. Demikian pula tidak ada kebudayaan yang statis secara absolut.
Dengan kata lain, perubahan itu konstan dalam kebudayaan manusia. Perbedaannya
hanya ada perubahan kebudayaan yang cepat dan ada perubahan yang lambat, hal
mana tergantung pada latar belakang stabilitas kebudayaan dan juga hubungannya
dengan kemungkinan adanya penolakan akan perubahan. Menurut Geertz agama pun
dapat mengalami perubahan, tetapi yang berubah adalah tradisi-tradisi keagamaan
atau sistem-sistem keyakinan keagamaan, sedangkan teks suci atau doktrin agama
itu sendiri tidak berubah (Robertson,1988:XII). Mengingat bahwa di dalam
masyarakat selalu ada dua macam kekuatan, yaitu kekuatan yang ingin menerima
perubahan dan kekuatan yang menolak perubahan, maka di dalam sistem keyakinan
yang dianut masyarakat Umalulu pun mungkin saja akan atau dapat berubah sejalan
dengan proses dan berkembangnya perubahan sosial-budaya pada masyarakat yang
bersangkutan. Proses perubahan itu sendiri bisa saja dengan jalan damai, atau
bisa juga dengan jalan ‘pemaksaan’, dengan kata lain suka atau tidak suka
sebagai sesuatu hal yang ‘harus dilakukan’. Perubahan yang ‘dipaksakan’ ini
rupanya sudah sering pula dilakukan pihak luar. Akan tetapi, sejauh itu pula
tidak atau belum mendapat hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti hingga tahun
1982 hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama
menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka,
yaitu Marapu (Suriadiredja,1983:49). Namun perkembangan selanjutnya (terutama
sejak tahun 1990-an) agak mengejutkan, karena ternyata data tersebut tidak
akurat dan mengungkapkan yang sebaliknya. Kini sebagian besar dari mereka (+/-
80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen.
Berdasarkan pengamatan penulis, ternyata mereka hanya pemeluk agama dalam “KTP”
saja, karena umumnya mereka banyak yang tidak pernah atau belum tahu bagaimana
menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu. Bila mereka memilih agama
“KTP” mereka adalah Kristen dan bukan agama lain, alasannya karena agama
Kristen tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap
dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus)
bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu
dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka
dapat bersekolah. Suatu hal yang memprihatinkan karena mereka „terpaksa“
beralih agama untuk alasan tersebut, tapi rupanya mereka tak banyak punya
pilihan. Mereka pasrah dibawah tekanan para penguasa. Sebenarnya sikap mereka
tersebut merupakan tindakan mencari ‘aman’ dari tekanan-tekanan pihak
pemerintah yang mengharuskan mereka agar “beragama”, katakanlah sebagai jalan
yang ‘kompromistis’, daripada dituduh sebagai ateis, kafir, primitif, tidak
mendukung program pembangunan, dapat mengakibatkan putra-putrinya tidak
diterima masuk sekolah dan sebagainya. Menurut Suriadiredja sikap dan tindakan
yang kompromistis itu merupakan proses inversi pada masyarakat yang pada
kebudayaannya mempunyai prinsip-prinsip struktural berdasarkan pembagian
dyadic-triadic (1983:405-409). Proses inversi ini dapat ditafsirkan sebagai
pengolahan lingkungan-lingkungan yang berlawanan oleh kebudayaan pada suatu
masyarakat yang tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang tajam.
Melalui inversi akan tercakuplah lingkungan yang satu ke dalam lingkungan yang
lain, dan ambivalensi alam tengah mempunyai fungsi sosial yang merupakan sumber
serta gagasan keseimbangan yang bersifat kompromistis. Bagi masyarakat Umalulu,
sejalan dengan pendapat O’dea (1985:216), agama merupakan salah satu bentuk
“perlindungan budaya” melalui mana -- secara sadar atau tidak-- ketakutan dan
agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat diredakan. Di satu pihak
mereka ingin tetap dengan agama dan ketradisionalan mereka sendiri, tapi dari
sudut pandang lain mereka seperti mengikuti pendapat bahwa agama juga berfungsi
melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan yang sudah usang
(Nottingham:1985:4). Masalahnya kemudian adalah apakah mereka akan
‘bersembunyi’ terus di balik kepentingan ‘target statistik’ ? Apakah yang
berbau milik “pribumi” atau “asli lokal” harus selalu tersingkir dan kemudian
musnah ? Mungkin mereka belum dan harus mengetahui bahwa dalam Universal
Declaration of Human Rights Pasal 18 tercantum : “ Setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama; hak ini mencakup pula
kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan,
mengamalkan, beribadah dan melakukan upacara, baik sendiri maupun bersama-sama,
secara terbuka atau tertutup”.
Referensi
- Banton, Michael (ed), Anthropological Approaches to the Study of Religion, Tavistok Publications, London, 1968
- Dove, Michael R. (ed), Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985
- Kapita, Umbu Hina, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976
- Koentjaraningrat,
- Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974
- Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta, 1977
- Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1985
- O’dea, Thomas F., Sosiologi Agama, CV Rajawali, Jakarta, 1985
- Robertson, Roland (ed), Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis, CV Rajawali, Jakarta, 1988
- Suriadiredja, P., Simbolisme dalam Desain Kain di Watu Puda, FS-Unpad, Bandung, 1983
- Widijatmika, Munandjar, Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Timur, LP Undana, Kupang, 1980
- http://id.wikipedia.org/wiki/Marapu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar