.jamkalenderkompiajaib {border: 0px; padding: 5px; background: none;} .jamkalenderkompiajaib a {background:none;} img.float-right {margin: 5px 0px 0 10px;} img.float-left {margin: 5px 10px 0 0px;} <!--Can't find substitution for tag [blog.pagetitle]-->

Selasa, 24 Januari 2012

Pernahkah Kristus Ketawa?

Pertanyaan itu muncul dalam novel Umberto Eco, Il nome della rosa, yang kemudian diulas Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya. Ya, adakah Tuhan dan rasul-rasul-Nya menolak humor, mengharamkan canda dan permainan?
Tokoh utama dalam novel berlatar Eropa Abad Pertengahan itu menjawab Kristus tidak pernah ketawa. Ia kemudian membela pentingnya rasa humor, canda dan permainan karena itu bagian sah dari hidup sebagai rahmat Tuhan.
Namun, benarkah Kristus tidak pernah ketawa?
Mari kita membayangkan sedang mengikuti pelayanan Yesus. Apa kira-kira reaksi Anda ketika Ia menghardik ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi: "Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan"? Kalau saya, saya berharap cukup berani untuk cekikikan (kecuali kalau saya termasuk ahli Taurat dan orang Farisi!).
Philip Yancey mengamati bahwa kita ini, orang-orang Kristen pengikut Kristus, hebat dalam bekerja, ahli dalam berdoa, namun ketinggalan dalam soal tawa-tertawa. Kalau tidak percaya, silakan saja tanya, apa kesan kebanyakan orang kalau mendengar istilah Kekristenan.
Anda kenal Charles Spurgeon, 'raja pengkhotbah' dari Inggris pada abad ke-18? Konon, gayanya lumayan urakan untuk ukuran saat itu. Berulang-ulang ia dikecam dan dianggap terlalu sembrono. Beberapa anggota majelis menentang kebiasaannya menyisipkan humor dalam khotbah-khotbahnya. Sambil mengedipkan mata, suatu ketika ia menanggapi, "Kalau saja Anda tahu berapa banyak (cerita-cerita lucu) yang masih saya simpan, Anda pasti akan mendukung saya...." Pengkhotbah ini lebih memilih untuk mengajak jemaatnya tertawa sejenak daripada membiarkan mereka tertidur nyenyak selama setengah jam.
Ibadah kita, kata G.K. Chesterton, seharusnya merupakan sukacita tanpa akhir dan gurauan tak berkesudahan. Konon pula, kemampuan untuk tertawa, terlebih menertawakan diri sendiri, dapat dianggap sebagai salah satu indikator kedewasaan. Di satu sisi, tertawa memperlihatkan penerimaan: bahwa kita ini memang makhluk-makhluk berdosa yang ada kalanya bertingkah bodoh, dan karena itu menggelikan. Di sisi lain, tertawa menyiratkan pengakuan: bahwa hanya dengan pertolongan Tuhanlah kita bisa mengatasi kebodohan tersebut. Setuju?
* Dikutip dari "Pengantar" Bible Trivial (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar